BILA tidak ingin celaka, jangan melintas
di Jembatan Sinamar pada waktu-waktu lengang, apalagi tepat di saat
berserah-terimanya ashar dan magrib! Bukankah begitu sejak dulu, petuah para
tetua, perihal jembatan yang tak pernah lekang dan usang itu? Namun, sebagaimana
titian biasa runtuh, pantangan biasa dilanggar, bukankah pula, dari masa ke
masa, selalu ada gerombolan anak-anak kampung ini, yang diam-diam hendak
menyingkap rahasia tersuruk di sebalik pantang dan larang yang terus
dimaklumatkan?
Maka, dengan segelimang gamang yang tak ditampakkan,
mengendap-endaplah bocah-bocah kerempeng itu, tepat pada waktu terlarang.
Mula-mula, sayup-sayup terdengar jerit dan rintih anak-anak seusia mereka,
bagai sedang didera rasa sakit yang tak tertanggungkan. Seiring rembang petang,
makin terang kedengarannya, hingga mereka memercayai suara gaib yang membuat
bulu kuduk meremang itu berasal dari lantai Jembatan Sinamar. Menimbang
keriuhan yang kian meninggi, rasa-rasanya asal jerit-rintih itu bukan dari satu
orang, mungkin dua atau tiga. Lalu, di benak mereka, terbayang jasad anak-anak
yang terjepit dalam jejaring beton bertulang. Mereka lekas berbalik, lari
pontang-panting, seperti benar-benar sedang diburu hantu petang hari.
Dua hari selepas petang itu, Tongkin turun tangan.
Sebab, Alimba, salah satu dari gerombolan anak-anak pelanggar pantang itu
kesurupan. Ia mencak-mencak, lalu membanting barang-barang pecah-belah di
rumahnya. Beling dari piring yang berserak di lantai, satu per satu ia kunyah,
seperti mengunyah keripik singkong, hingga berderuk-deruk di tenggorokannya.
Lantaran tingkah Alimba makin liar, dua penambang pasir Sungai Sinamar
meringkusnya, hingga ia menghentak-hentak sambil mengeluarkan pekik yang
membuat pedih gendang telinga. Tongkin, dukun pilih tanding, mengerahkan
segenap kesaktian, guna merenggut makhluk halus itu dari jasad Alimba.
”Rumahku di sini, di kampung ini, bukan di Jembatan
Sinamar!” ancam Alimba, dengan tatap bengis.
Tongkin tak peduli gertakan itu. Mulutnya terus
komat-kamit, melafalkan mantra-mantra.
”Kau tak akan sanggup mengusirku,” bentaknya lagi.
Sesaat Tongkin mundur, ia memperkokoh posisi duduknya.
Rupanya ia sedang berhadapan dengan lawan bersengat.
”Siapa kau sebenarnya?” tanya Tongkin dengan napas
terengah-engah.
”Jangan pura-pura tidak tahu! Aku salah satu dari tiga
anak yang kepalanya dibenamkan di lantai Jembatan Sinamar.”
Orang-orang terperangah. Tongkin menghela napas
dalam-dalam. Tak biasanya, roh jahat yang merasuk ke dalam tubuh kasar
mengungkap asal-muasalnya. Sesaat kemudian, Alimba tumbang, lalu pingsan.
***
Dulu, bila ada yang kesurupan, Tongkin selalu berkilah
bahwa makhluk halus yang merasuk hanyalah penghuni Sungai Sinamar yang terusik
sejak pembangunan jembatan. Namun, setelah Alimba kerasukan, rahasia Jembatan
Sinamar mulai tersingkap. Tongkin membenarkan bahwa riwayat usang tentang
pemenggal kepala bukan cerita bohong. Kekejaman pemenggal kepala yang telah
menjadi kabar petakut di Kampung Subarang, ternyata bukan sekadar dongeng
pengantar tidur bagi anak-anak malas yang lebih banyak bermain gundu ketimbang
membantu orang tua di ladang. Mulai dari ibu-bapak Alimba, tetangga-tetangga
dekat hingga tersiar ke seluruh penjuru kampung, Tongkin membeberkan bahwa jika
Jembatan Sinamar hanya dipancangkan dengan beton-beton bertulang, menimbang
usianya yang sudah uzur, tentu sudah rubuh. Namun, tiga kepala yang dibenamkan
bersama adukan cor, telah membuatnya bagai tiada pernah lekang dimakan usia.
Saat gempa dahsyat memporak-porandakan rumah-rumah warga Kampung Subarang,
Jembatan Sinamar jangankan runtuh, terguncang pun tidak. Tiang-tiangnya masih
menancap kokoh, apalagi lantainya, meski setiap hari truk pasir bermuatan sarat
lalu-lalang melintasinya. Dan, itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Di masa lalu, Kampung Subarang pernah gempar lantaran
kehilangan tiga bocah laki-laki, sepulang menonton pacuan sapi, tak jauh dari
tepian Sungai Sinamar. Mereka dikabarkan hanyut saat menyeberangi sungai itu.
Begitu hasil penerawangan batin para dukun yang melacak keberadaan mereka. Berhari-hari
Sungai Sinamar diselami, dari hilir hingga hulu, tapi mayat mereka tak
ditemukan. Setelah semua daya-upaya dilakukan, akhirnya ketiga orang tua
anak-anak yang hilang tak jelas rimbanya itu memercayai bahwa mereka telah
diculik orang bunian. Tidak meninggal sebagaimana yang diperkirakan, tapi
mustahil kembali, karena mereka sudah terhisap ke dalam alam halus. Orang-orang
Subarang merelakan tiga bocah itu menjadi anak-anak masa lalu yang tak pernah
lagi diungkit-ungkit riwayatnya.
Padahal, mereka tergoda oleh iming-iming dua lelaki
asing namun berperawakan ramah dan baik hati. Mereka dibujuk dengan ajakan
menonton pertunjukan kelompok sirkus yang waktu itu sedang manggung di kota
kabupaten. Dua lelaki itu mengendarai mobil bak, dan sudah pasti mereka akan
dibolehkan bergelantungan di mobil itu. Pengalaman yang mahal untuk ukuran
anak-anak Kampung Subarang masa itu.
Namun, sebelum sampai di kota, di sebuah tempat
lengang, mobil tiba-tiba berhenti. Salah satu dari dua lelaki asing turun,
mendekati tiga bocah yang sedang asyik bergelantungan.
”Sebelum masuk ke arena sirkus, kalian harus pakai
ini,” katanya, sembari membagikan topi warna hijau.
Sekilas topi itu mirip lackpet yang biasa
dipakai tentara zaman dulu. Bila cuaca dingin, dua sisi bawahnya dapat
dikancingkan di dagu. Sementara di sisi belakang, yang bersentuhan langsung
dengan kuduk, menyembul dua ujung kawat halus sepanjang empat senti. Kawat baja
itu tersembunyi di dalam kain yang akan melingkari leher.
”Arena sirkus akan ramai pengunjung. Topi itu
memudahkan kami mencari kalian, begitu pertunjukan usai.”
”Bila tidak, kalian bisa hilang dalam keramaian.”
Mereka bergegas menyarungkan topi di kepala
masing-masing, dan memasang kancing di bawah dagu. Ada yang berdetak di kuduk,
bunyinya seperti gembok yang terkunci, hingga leher mereka bagai tercekik.
Anak-anak yang telah masuk perangkap diminta turun. Mereka tidak membantah
lantaran tenggorokan yang tersekat, sementara topi tidak bisa dibuka lagi.
Dengan posisi menyilang dua lelaki itu menyentakkan kawat baja di kuduk
anak-anak itu. Seketika kepala mereka lepas dari badan. Nyaris tak ada pekikan.
Penyembelihan yang dingin. Lebih lekas dari menggorok leher sapi. Tiga topi
berisi kepala menggelinding di dalam mobil bak, segera diserahkan kepada
pimpinan proyek pembangunan Jembatan Sinamar.
***
Setelah meraih gelar insinyur dengan predikat cum
laude dari sebuah universitas ternama di Jawa, belasan tahun lalu, Alimba
memang belum pernah pulang. Namun, sosoknya seumpama layang-layang yang sedang
tegak-tinggi tali. Jauh, namun tampak dekat. Dekat, tapi tampak jauh. Selalu
ada yang berkabar bahwa di tanah Jawa, insinyur Alimba, telah menjadi pemborong
besar, utamanya dalam proyek pembangunan jembatan layang. Kualitas konstruksi
yang dikerjakan oleh perusahaan milik Alimba telah teruji. Tiga dari lima
tender proyek jembatan layang selalu dimenangkan PT Sinamar Jaya Karya. Tak
terbayangkan, Alimba bocah kerempeng dari Kampung Subarang, terlahir dari
keluarga susah, kini menjadi kontraktor dengan reputasi tak tertandingi, bahkan
konstruksi jembatan karya para insinyur tamatan luar negeri tak sanggup
mengimbangi karya-karyanya.
Kalaupun ada kelemahan Alimba, itu hanya soal
suara-suara gaib yang menyeruak dari setiap jembatan yang pernah dibangunnya.
Tepat di saat bertimbang-terimanya ashar dan magrib, akan terdengar jerit dan
rintih anak-anak yang seolah-olah sedang terjepit di dalam jejaring beton
bertulang. Siapa yang melintas pada waktu terlarang itu, bakal celaka. Bila
tidak tabrakan beruntun, setidaknya kendaraan terguling lantaran kecepatan yang
tak terkendali. Sejauh ini sudah tak terhitung jumlah korbannya.
”Pasti ada yang tidak beres! Mesti diungkap. Bila kita
tidak ingin terus kalah tender,” begitu sinisme seorang pesaing Alimba.
”Bagaimana cara membuktikan setan-setan jembatan itu?”
tanya anak buahnya.
”Alimba terlalu kuat. Sekuat konstruksi jembatan hasil
karyanya.”
”Ah, apalah guna mutu, bila setiap bulan selalu
menagih darah?”
***
Bila di masa lalu, Subarang heboh karena kehilangan
tiga bocah laki-laki yang telah direlakan menjadi anak-anak masa lalu, kini
kampung itu kembali gempar setelah TV dan koran-koran menayangkan kabar tentang
seorang kontraktor proyek jembatan layang yang diduga sebagai otak di balik
penemuan potongan-potongan tubuh mayat yang belakangan ini telah meresahkan.
Dikabarkan, buronan bernama Alimba itu telah membenamkan ratusan butir kepala
anak-anak jalanan di dalam jejaring beton bertulang, sebagai tumbal demi
kekokohan konstruksi setiap jembatan yang dibangunnya. Orang-orang suruhan
Alimba berkhianat, dan menyebarkan jasad-jasad tanpa kepala di setiap penjuru
kota, hingga reputasi PT Sinamar Jaya Karya tak terselamatkan.
Dari kejauhan, orang-orang Subarang berdoa semoga
Alimba, si pemenggal kepala, beroleh tempat bersembunyi yang tidak bakal
terlacak siapa pun. Betapapun sadisnya perbuatan Alimba, ia telah menghidupi
anak-anak muda yang dulu hanya pemadat jalan di Kampung Subarang, kini menjadi
orang-orang yang beruntung di perantauan. Alimba menampung dan mempekerjakan
mereka.
”Ini salah Tongkin,” umpat salah seorang tetua Kampung
Subarang.
”Tongkin sudah mati. Ia jangan dibawa-bawa!”
”Bukankah Tongkin yang membeberkan cerita tentang
pemenggal kepala, dan Alimba mengambil pelajaran dari situ?”
Daruih, dukun muda pewaris kesaktian Tongkin,
menyanggah. Baginya, kabar yang telah menjadi aib Kampung Subarang bukan salah
Tongkin, bukan pula Alimba, tapi ulah salah seorang dari anak-anak masa lalu,
tumbal Jembatan Sinamar. Arwah yang pernah merasuki Alimba semasa kanak-kanak
tak sungguh-sungguh pergi, hingga kini bahkan masih bersarang di tubuh insinyur
hebat itu. Ia melunaskan dendam lewat tangan Alimba…
http://cerpenasik.wordpress.com/2010/06/20/anak-anak-masa-lalu/ Tanggal 25 Januari 2013 Jam 08.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar