Ketika dunia
terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung,
begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu
senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya,
itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran
seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan.
Namun,
sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai
sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir
itu akan memudahkanku mencari sahabat.
Tapi
kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa
kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam
menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi
paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku
mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru
meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar
seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain
saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa
mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku.
Langsung
pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama
sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah
keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah
menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya
teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi
kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.
Aku menutup
wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak
lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga
sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu
mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku.
Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk
sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ?
kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku.
“Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika
kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy
malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak
begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku.
Kurasa semua
sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh
‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka
selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama
gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue.
Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya,
dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh
begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku
menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga
pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri
juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir
dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah,
maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.
Tetapi aku
masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang
waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu
menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak
pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu
mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba
memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang
selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo
bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat
kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.
Aku
merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah
aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku
yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain
yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “
Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan
bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka
sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga
persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari.
Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik
pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan
merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah
meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya
http://www.lokerseni.web.id/2011/11/cerpen-persahabatan-untuk-sahabat.html, Pukul 10.08 Tanggal 22
Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar