Jelang dini hari. Di sebuah ranjang
berkelambu coklat muda. Kau terlelap tanpa dengkur. Telanjang dada. Bersarung
sebatas lutut. Di sampingmu, terbaring sebatang tubuh molek yang hanya dibalut
kain lasem sebatas dada, hingga terintip ceruk di antara dua bukit tinju yang
ditutupinya. Selingkaran lehernya menyerak tanda merah sebesar ujung jempol,
bagai habis dihisap-kecap. Air muka kalian menyemburatkan lelah yang tak biasa.
Tengah malam tadi kalian khatamkan sebuah pertarungan yang tertunda sekian
lama. Bukan
hanya dengan keringat, tapi kalian juga melakoninya
dengan hasrat yang mendahaga. Tak ada yang ditetapkan sebagai pamuncak. Kalian
sama-sama kuasa. Kalian pula sama-sama kalah. Bakda itu, lelap kalian adalah
sebenar lelap. Untuk apalah bermimpi lagi bila angan-angan itu baru saja
tertunai?! Tertunai di atas nama pertautan-halal; di atas ranjang yang
berseprai anyar; di atas malam yang dipilahku untuk merajam. Membalas dendam!
***
SIANG tadi pesta perkawinanmu digelar dengan mewah.
Kau memang seorang istimewa. Anak tunggal pemilik panglong kayu terbesar di
kampung. Jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota itu
tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawanmu?! Ah, tak penting
itu. Perkaranya adalah, aku tak rela kau meminangnya. Tidak!
Memang, kepergianku ke kampung orang tuaku dua pekan
silam tanpa sepengetahuanmu dan keluargamu. Tapi, yang membuatku murka adalah
sikapmu (juga keluargamu) ketika mengetahui aku raib. Tenang-tenang saja.
Ketika itu, mendidihlah darahku. Ingin sekali aku melabrakmu. Bila perlu
membuatmu mati-tercekat karena mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Namun,
rencana itu kujegal sementara. Aku benar-benar ingin tahu musabab
ketakpedulianmu pada diriku, gadis yang kaujanjikan untuk dikawini. O,
apakah ketaktahuanmu tentang di mana tepatnya ranah kediamanan orang tuakukah
yang membuatmu tak mencariku? Kini, jujur, aku merasa sangat bodoh. Mengapa
dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu. Pergi meninggalkanmu. Berkelana
ke kampung ayah-ibu yang justru tak kunjung kuketahui keberadaannya.
***
AKU benar-benar benci pada perawan itu. O, sungguh,
kau harus tahu bahwa semua ini bukan salahku!
Apakah kau tak tahu seperti apa pembantu di rumahmu
dipekerjakan? Adalah
sahih bahwa titah demi titah orang tuamu telah merampas waktuku: sedari subuh
hingga malam meninggi. Jadi, bagaimana mungkin aku main-gila dengan
laki-laki lain?! Apakah harus kuceritakan perihal aku yang jatuh dari pohon
nangka karena keponakanmu dari kecamatan minta diambilkan layangan yang
tersangkut di sana; apakah harus jua kukeluhkan bahwa aku pernah terjerengkang
di dapur karena ibumu berteriak memintaku gegas menyiapkan air hangat untuk
mandi di subuh kau akan diwisuda dua bulan lalu; apakah jua harus kutumpahkan
kekesalan bahwa, beberapa kali aku terjerembab dari kereta unta ketika
mengantar rantang-rantang para tukang yang merampungkan rumah baru kalian di
simpang pasar… ; dan apakah harus kumeraung –dalam suara yang pasti memarau–
untuk semua akibat yang dimunculkan kesialan-kesialan itu: selangkanganku
sakit, perih, bahkan ketika terpeleset di kamar mandi yang akan kusikat di pagi
Ahad, bercak-bercak merah tiba-tiba saja mengerubungi celana dalamku. Pedihnya
tak tepermanai. Bukan hanya membayangkan bahwa beberapa hari bakda itu, aku
akan berjalan sedikit mengangkang, namun…lebih dari itu. Menangis tak berbunyi
aku bila membayangkan air muka lelaki –yang suatu hari nanti mengawiniku– di
malam pertama kami (di bawah lampu kamar yang bercahaya remang).
***
BERTAMBAH masailah aku ketika suatu hari kau menanam
tebu di bibir. Kau tak hanya, dengan lembut dan syahdu, mengatakan (sekaligus
memuji); hidungku bangir, wajahku bulat telur, bibirku merah penuh, kulitku
putih rotan, mataku kilap-kelereng, alisku semut yang berbaris, rambutku
sutera-hitam, daguku lekuk-mangga, bahkan telingaku kaukias bak cawan Persia.
Aku luruh. Aku tahu, kau tak menuang air hingga tumpah. Kau menyampaikan yang
sebenar. Ayahmu yang sudah empat kali naik haji saja sering ”nakal” padaku.
Beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel.
Beberapa kali pula ia mencoba menciumku –namun selalu gagal karena derap
langkah ibumu keburu menyambangi.
”Kau bersyukurlah kami pungut di tepian rel dulu.
Sekarang nak bertingkah kau!” hardiknya ketika aku menghindari
cengkeramannya di pinggangku.
Ayahmu juga sangat pandai mengganti muka. Di depan
ibumu ia bagai singa yang sedang memerintahkan musang menyeret ayam. Bila aku
lamban atau bahkan tak melaksanakan apa-apa yang dititahkan, maka aku akan
dirajam. Demikian istilah yang sering dipakai keluargamu bila aku dirundung
kesialan. Ya, selain keluargamu, tak banyak yang tahu (atau bahkan memang tak
ada yang tahu) bahwa ayahmu seringkali merajamku dengan pecut kuda yang
disimpan di kolong ranjangnya, bila aku kedapatan melakukan hal-hal yang tak
berkenan di hadapannya dan ibumu. Walaupun tidak melakukannya dengan
cambuk-maut itu, ibumu tak kalah ganas. Ketika marahnya membara, barang apa
saja yang ada di dekatnya akan dicangking-rajamkan ke arahku. Kau tahu, bakat
biru di bahu belakangku adalah bukti yang paling makbul atas guci China dan
tatakan piring keramik Turkmenistan yang ia pecahkan ke tubuhku. Kau tahu,
sejak itu, aku selalu tidur dalam keadaan telentang. Sedikit saja kumiringkan
tubuh –karena tiba-tiba ingin memeluk guling misalnya, tulang belakangku serasa
bersigesek. Linu yang menyayat.
Dan… kau bagai mengimani peribahasa yang tampaknya tak
bercelah: orang tua adalah guru berteladan yang mustajab.
Ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi
kegemaranmu tak kugoreng seperti yang kau inginkan. Kuningnya terlalu masaklah,
putihnya terlalu keringlah, minyaknya masih berlumuranlah…. Namun kau sangat
berbeda dengan orang tuamu. Rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku
bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung. Kau biasanya menyeretku ke
sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon.
Melumat bibirku, menggigit-geli leherku, menjilat lekuk telingaku…. Kau
melakukan semua dengan tangan yang sigap membuka kancing-kancing baju-katunku.
Seolah kau benar-benar hafal bahwa jarak masing-masing pengait baju itu adalah
12 sentimeter. Tapi… kau tak melakukan (atau meminta) lebih jauh. Kau kerap
berhenti ketika aku mulai menikmati rajamanmu.
”Percayalah, aku bukan iblis. Aku hanya pemuda biasa
yang tak dapat menyembunyikan naluri lelakinya. Percayalah, kau bagai bidadari
saban habis mandi. Dan aku takkan menghamilimu hanya karena itu. Aku hanya
ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau….”
Aku diam. Terharu. Bangga padamu –bakal suamiku
(benarkah?!). Lalu meradang dalam bayang kesedihan yang siap tumpah demi
membayangkan malam-sakral itu tiba suatu waktu.
Tapi… oh, seperti yang kaukatakan. Kau adalah pemuda
biasa. Hanya ditambah beberapa kelebihan: tampan, kaya, berpendidikan, dan
(jujur kukatakan) menggoda. Pada suatu malam yang mendung, ketika kedua orang
tuamu berhelat ke kampung sebelah, memenuhi undangan hajatan kawan lama, kau
kembali merajamku. Tapi bukan karena aku tak menggoreng telur ayam itu dengan
baik. Kau merajamku karena kau pemuda biasa –katamu dulu, pemuda yang memiliki
naluri kelelakian (atau kebinatangan?!). O sungguh, harus jujur kukatakan, aku
juga bagai terasuk setan-binal malam itu. Bila kau memintaku menumpahkan isi
telur di kuali, aku akan melakukannya serampangan. Bahkan, akan kunaikkan
putaran gas hingga api menyala sejadi-jadinya. Akan kuhidangkan telur pekang,
gosong-arang! Ya, aku ingin kau menghukumku. Merajamku!
Dan kau melakukannya tanpa ada pasal telur goreng itu.
Tapi tak seperti biasa, kali ini kau meminta lebih. Tentu saja, aku menolaknya.
Bukan, bukan karena tak yakin kau akan bertanggung jawab (entah, aku begitu
percaya padamu bahwa kau takkan menyia-nyiakanku), tapi karena kau belum
meyakinkanku apakah ayah-ibumu akan bersetuju dengan pilihanmu; seorang
pembantu tanpa orang tua dan sanak saudara.
Kau bagai membaca kegundahanku. Kau katakan betapa
istimewanya dirimu. Siapa yang berani menolak permintaan anak tunggal?!
Sungguh cantik kau meliuk lidah. Ya, kau tak menanyakan mengapa aku berani
menolak permintaan seorang anak majikan. O, betapa ketika itu kau menguapkan
sikap yang meluluh-lantakkan tembok pertahananku.
Menanglah kau! Aku gelap-pikiran. Aku tak tahu bila tebu
di bibirmu sebentar lagi akan ditebas (dan hilanglah gulali itu tak lama
kemudian!). Aku hanya membayangkan betapa gadis sebatangkara sepertiku akan
menjadi bagian dari keluarga terhormatmu. Ohhh….
Namun, kenyataan bersibelakang dengan ramalan. Kau mulai
mengganas. Kausingkap kain lasemku. Dan… berserempakan dengan petir yang
bergemuruh jauh, dan air langit yang bersitumpah satu-satu; mukamu keruh
seketika!
Kau mendorongku hingga terjerengkang. Kau kenakan
pakaian dengan tergesa-gesa. Kau tuding aku sundal. Kau tak memberiku
kesempatan untuk mengurai sebab-akibat….
Tengah malam, kutinggalkan rumahmu. Memapas
jalan-jalan kelam kampung yang lengang….
***
SEDARI pagi, aku memang tak sabar menyambut malam. Di
antara kerumunan tetamu, kusaksikan bagaimana ijab-kabul dilewati tanpa
hambatan. Sejak duha hingga bakda asar, orkes melayu mengoar-bingar panggung
dan seantero kampung. Kalian bagai menginjak-injak luka-lebamku. Dan, bakda
isa, aku menuju kediamanmu. Dari balik jendela, kuintip orang tuamu menghitung
isi amplop yang diterima, para keponakan yang bersuka-ria menyobek bungkus
kado-kado yang menyerak di kamar depan, beberapa tamu jauh yang tak henti
memuji keserasian kalian….
Malam pun meninggi. Sedikit saja jarum jam yang lebih
panjang tergelincir, maka hari akan bernama baru. Lamat-lamat aku menyelinap.
Kalian lupa bahwa aku sangat paham leliku rumah besar itu. Aku segera menuju
kamar bergorden merah jambu dengan beberapa tangkai anyelir menyelip di
kaitannya. Syabas! Begitu mudah kukuak pintu kamar. O o, aku datang di waktu
yang gemintang. Kalian baru akan memulai ritual wajib pengantin baru. Aku
berdoa dari balik pintu, semoga selangkangan gadis itu berkembar-nasib dengan
selangkanganku.
O, apakah benar yang kulihat? Kau menggumulinya dengan
lunas. Apakah gadis itu masih perawan? Atau… kau tak peduli lagi perihal darah
yang muncrat di antara bonggol paha itu? Puihhh!!!! Laki-laki pembual, kau!
Maka, ketika kalian lelap oleh lelah yang memuaskan…
kusambangi ranjang harum melati itu. Kusingkap kelambu. Kutatap kalian
satu-satu. Kubersijingkat menaiki ranjang. Sangat hati-hati, hingga tanpa bunyi
derit. Aku kini sudah mengangkangimu. Ups! Setengah meloncat aku membebankan
tubuh di atas perutmu….
***
AKU terkakak hingga air mataku menyeruak. Kedua bola
matamu mendelik sempurna ke arahku. Kurajam kau kini! Kucekik lehermu
sejadi-jadinya. Kau mengejang. Aku makin terbahak. Pun ketika perempuan di
sampingmu terjaga. Ia menyangka kau tengah mengigau. Mimpi buruk.
Sejak kapan mimpi buruk bertandang di malam punai,
hah?! Perempuan bengak!
Perempuan itu menarik-narik kedua tanganmu yang
memegangi leher –seolah kau tengah melepaskan cengkeramanku yang memelintir
tonggak kepalamu. Mana bisa?! Mati kau?!
Perempuan itu berteriak ketakutan. Keluarga dan
sanak-kerabatmu menggedor-gedor pintu yang masih terkunci. Tak lama, mereka
mengerumunimu. Berteriak sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tak meradang
ditinggal mati anak-bujang seorang?!
***
AKU masih tertawa ketika, di antara sikaduduk yang
menyemak di sudut pemakaman umum, tempat akan digalinya liang untukmu,
orang-orang menemukanku teronggok dikerumuni belatung. Beberapa bagian tubuhku
ditutupi bahan katun, kain lasem yang buram coraknya, dan tentu saja tali
tambang yang masih bergelung di tengkorak kepala. Itu adalah tali yang kuambil
dari dapurmu di malam aku meninggalkan rumah itu. Kukaitkan di dahan beringin
yang paling besar; demi beroleh restu ayah-ibu untuk merajammu malam tadi. (*)
http://cerpenasik.wordpress.com/2010/06/02/malam-rajam/ Tanggal 25 Januari 2013 Jam 08.09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar